Filosofi Kerupuk Udang
Sebenarnya tadi sore, saya baru saja mengalami pembicaraan panjang dengan seorang teman sekelas saya di jurusan arsitektur, dan tema pembicaraan itu sendiri adalah berpikir… Yah, kita berdiskusi dan berpikir tentang berpikir… Terdengarnya agak aneh yah? Tapi dari pembicaraan itu saya sadar bahwa sebenarnya berpikir sendiri itu sudah menjadi masalah yang kompleks, tapi kadang-kadang dari proses yang kompleks itu bisa muncul hal yang kata anak gaul sekarang ‘ga penting’…:)
Ngomong-ngomong, judul yang agak aneh ya? Tapi memang saya sudah memutuskan untuk membuat blog ini menjadi space saya untuk mengungkapkan pemikiran saya dalam keseharian saya, tentang apa yang saya pikirkan di ujung satu hari… Mungkin 1 hari ada 1-3 tulisan, mungkin berminggu-minggu atau berbulan-bulan tidak ada tulisan sama sekali… Kalau itu terjadi silakan e-mail saya di ryuu_dark@hotmail.com karena pasti ada sesuatu yang begitu menyita pikiran saya dalam jangka waktu yang panjang, sehingga saya sampai tidak punya pemikiran… Kalau ada yang berkenan mohon e-mail saya bila itu terjadi… Dan mungkin anda bisa menjadi juru selamat saya…
Tentang filosofi kerupuk udang itu sendiri, ini adalah pemikiran saya malam ini saya mau makan dengan sop buatan ibu saya dengan tambahan kerupuk udang itu… Kumpulan kerupuk udang itu diletakkan oleh ibu saya di dalam sebuah toples plastik, dan saat itu karena kerupuk udang ini adalah favorit saya, saya memutuskan untuk mengambil 2 buah untuk menjadi teman sop dan nasi saya malam itu… Dan apa yang terjadi? Meski kerupuk udang ini diletakkan secara berjajar vertical di dalam toples itu dan saya mengambil 2 buah yang berada di tengah, tepat di bawah mulut toples, ternyata mereka berdua tidak bisa keluar secara bersamaan… Saya coba lagi ternyata tetap tidak bisa… Akhirnya untuk mengeluarkannya memang harus dikeluarkan satu demi satu tidak bisa sekaligus, dan itulah cerita mengapa judul tulisan ini menjadi seperti yang anda bisa lihat itu…
Sebenarnya apa yang mau saya sampaikan lewat tulisan ini? Kerupuk udang itu sebenarnya salah satu metafora tentang manusia, terutama tentang perubahan manusia. Pada dasarnya kerupuk udang itu memiliki bentuk yang hampir sama ketika dijual di pasar… Produsen tentu tidak ingin merugi dengan membuat ukuran yang tidak seragam, jadi kurang lebih semua kerupuk udang pada dasarnya memiliki ukuran awal yang sama. Lalu yang membuatnya berbeda adalah ketika dimasak, daya kembangnya yang berbeda itu yang membuat ukuran dan bentuk setiap kerupuk udang itu akan berbeda setelah dimasak, belum lagi masalah pengaruh proses memasaknya…
Hal yang sama juga terjadi pada manusia… Setiap manusia itu memiliki daya kembang yang berbeda, meskipun melalui proses secara bersamaan… Murid-murid yang mengenyam pendidikan di tempat yang sama, dengan cara yang sama oleh guru yang sama pun pasti akan menghasilkan sesuatu yang amat beragam… Tidak akan ada murid yang berkembang menjadi individu yang identik dengan lainnya… Jadi manusia itu layaknya kerupuk udang yang memiliki daya kembang yang berbeda satu sama lainnya, jadi jangan pernah memaksakan hal yang sama pada semua orang karena setiap orang memiliki approach yang berbeda untuk setiap masalah yang dihadapi… Jangan pernah menyamakan semua orang karena memang manusia tidak ada yang sama… Hal ini mungkin sudah disadari oleh semua orang…
Tapi setelah ditinjau masalah cara berpikir, setiap orang dengan daya kembang yang berbeda pasti juga memiliki pola pikir yang berbeda bukan? Tema divergenitas ini jelas sudah menjadi hal yang diketahui secara umum… Tapi bagaimana dalam divergenitas ini kita menemukan metode untuk berpikir ‘outside the box’? Seperti mengeluarkan kerupuk udang dari toplesnya, setiap orang pasti memiliki cara yang berbeda untuk keluar dari ‘box’ pikirannya itu… Kalau saya malah berpikir, kalau keluar dari ‘box’ ini sebegitu sulitnya, apa lebih baik saya pikirkan saja bagaimana menghancurkan ‘box’ ini yah? Agar saya bisa keluar dengan mudah… Dari pengajar saya di studio, saya sadar bahwa untuk keluar dari ‘box’ ini yang penting adalah untuk bisa menyadari batasan ‘box’ kita itu sendiri, dengan menyadarinya kita jadi tahu bagian mana yang harus ditembus. Selain itu kita dapat pula melihat ‘rumput tetangga’ untuk keluar dari ‘box’ kita. Rumput ini diasumsikan sebagai cara berpikir, setiap orang pasti punya sisi dimana ia bisa bekerja dengan jauh lebih baik pada satu bidang yang khusus. Dari hal itulah saya disadarkan oleh pengajar saya bahwa kadang kita bisa melihat melalui orang lain untuk keluar dari ‘box’ kita. Seperti saya melihat kemampuan teman saya dalam membuat ‘metafora desain’, dimana approach dia dilakukan dengan sangat baik, bagi saya dia itu sudah ‘outside my box’ meski baginya dia masih ‘inside her box’ dan terus berkutat untuk berpikir ‘outside her box’.. Tapi buat saya ‘inside’ dia sudah ‘outside’ saya, jadi sambil saya meraba boundaries saya, saya bisa belajar dari ‘box’ dia yang memang sudah berada di luar milik saya. Namun jangan berhenti di
No comments:
Post a Comment